Halaman

Rabu, 16 November 2011

The RollingWood


BAG 1
Tahun ajaran baru akan segera dimulai, rasa rindu telah menggelayuti hati Venus selama liburan. Sudah sekitar tiga minggu dia tidak bertemu dengan teman-teman seakademinya. Rindu melihat bangunan tua akademinya, rindu akan celotehan guru-gurunya. Ya, di akademi RollingWood-lah Venus bersekolah, dan menggantungkan masa depannya. Impiannya tercapai sudah, saat setahun yang lalu dia merengek-rengek, memohon kepada kedua orang tuanya untuk disekolahkan di RollingWood.
Awalnya orang tua Venus tidak setuju dengan pilihan Venus. Masalah biaya, tentu saja. Karena akademi RollingWood merupakan sekolah favorit. Tapi ada satu alasan lagi yang menjadi beban orang tuanya, yaitu Venus harus tinggal di asrama dan jauh dari kedua orang tuanya. Tetapi hati pasangan Swift ini akhirnya merelakan keputusan anaknya. Beribu petuah dilontarkan Mrs Swift saat mengantar Venus berangkat ke akademi RollingWood pertama kali, dan memberikan kalung, sebagai jimat untuk Venus berjaga-jaga. Berjaga-jaga untuk apa? Sungguh orang tuaku paranoid sekali?
Tapi itu dulu, setahun terakhir dialami Venus dengan bahagia, tanpa ada masalah sedikit-pun, dan itu cukup untuk meyakinkan kedua orang tuanya bahwa pilihannya tepatsangat tepat— Dan malam ini, malam terakhir Venus di rumahnya di New Corral. Esok hari dia harus berangkat ke RollingWood sepagi mungkin. Dibantu oleh ibunya, dia mengepak seluruh barang-barang yang akan dia bawa, buku-buku baru tingkat kedua yang sama sekali masih baru dan belum tersentuh. Sampul plastik dengan apik masih membungkus buku itu. Oh, betapa malasnya Venus untuk membuka buku saat liburan. Namanya liburan, ya harus bersenang-senang. Pikirnya. Meskipun Venus itu pemalas tapi berbagai penghargaan didapatnya baik akademik maupun nonakademik. Dapat anugrah otak darimana dia hingga bisa sepintar itu.
“Nah, semua sudah beres. Tidak ada barang yang ketinggalankan?” Tanya ibunya yang selesai mengepak baju-baju milik anaknya.
“Emh, sepertinya sudah.” Jawabnya singkat.
“Kalau sudah, cepat tidur. Besok harus bangun pagi, berangkat, dan ingat selalu pesan mama” Perintah Mrs. Swift
Venus mengangguk mematuhi perintah ibunya itu. “Ocey mom” sambil mematikan lampu utama dan menghidupkan lampu tidur yang ada di sebelah ranjangnya, dia melihat ibunya melenggang keluar. Sebelum menutup pintu, ibunya berpesan agar Venus dapat berjaga diri. Lagi.
Setengah tidur, Venus berfikir, RollingWood adalah tempat teraman dan ternyaman yang pernah ia temui. Kekuatiran ibunya itu berlebihan. Well, Awalnya memang wajar, anak semata wayangnya harus berpisah dari pelukan ibunya. Lima belas tahun hidup bersama dalam satu atap, dan waktu itu harus berpisah begitu saja. Terlebih Venus notabennya adalah anak yang ceroboh. Pantas saja orang tuanya kuatir. Tetapi, setahun ini dijalani tanpa ada masalah yang berarti. Ya, meskipun tidak sepenuhnya benar. Venus jadi ingat, waktu empat bulan setelah mulai sekolah di akademi RollingWood. Dia hampir jatuh dari lantai empat gedung itu karena terdorong oleh seseorang. Untung saja ada guru lewat yang berhasil menyelamatkan nyawanya. Tetapi selain itu tidak ada kejadian lain— Mungkin —
Orang tua Venus tidak tahu menahu tentang kecelakaan itu. Mungkin jika mereka tahu, pasti mereka telah mencerocos di ruang kepala sekolah untuk memperhatikan keselamatan siswanya. Lucu sekali membayangkan raut muka kepala sekolah jika hal itu benar-benar terjadi. Untung aku tidak memberitahu orang tuaku. Bantinnya.
Aku tak sabar menunggu besok. I miss you guies….
Kemudian Venus terlelap dalam mimpi.
Dia bergerak maju, perlahan semakin dekat. Aku sedikit demi sedikit melangkah mundur dengan waspada. Dia semakin dekat, nafasku semakin memburu, detak jantungku berdetak cepat sekali. Dia melangkah maju, raungannya membuat bulu kudukku berdiri. Aku melangkah mundur lagi, mataku tetap menatap tajam makhluk itu. Kurasakan tubuhku telah menyentuh dinding. Aku terpojok, mataku memutar secepat yang ku bisa. Tak ada jalan keluar, kulihat, makhluk itu melompat menerjang ke arah ku.
Aku akan mati…..
“Huh… Huh…” Venus terbangun dengan nafas yang tidak teratur. Dia memijit kepalanya yang saat ini terasa nyeri. Keringat dingin telah membasahi wajah dan tubuhnya. Mimpi buruk.  Tidak pernah dia bermimpi seperti itu. Mimpinya kali ini terasa nyata sekali. Untuk sesaat tadi, dia berfikir dia akan mati. Sesaat kemudian, dia terbangun dan semua itu hanya mimpi. Sungguh melegakan.
Kemudian Venus mencoba bangun dan menyandarkan punggungnya dirinya di kepala ranjang. Dia menenangkan dirinya dari mimpi buruk tadi. Venus mencari-cari jam beker di meja dekat ranjangnya. Jam menunjukan pukul satu pagi. Venus mengumpat dalam hati. Mengapa dia harus bermimpi buruk dan terbangun di malam yang tidak tepat?. Venus mencoba memejamkan matanya lagi. Mencoba untuk terlelap lagi. Tapi usaha itu sia-sia, dia tetap terjaga.
Hingga pukul tiga pagi, dia akhirnya bisa terlelap juga. Setelah dua jam sebelumnya dia memilih membaca buku hingga matanya menuntut untuk tidur lagi. Sekitar pukul enam pagi, dia bangun dan bersiap untuk berangkat ke akademi RollingWood. Sudah tidak sabar rasanya ia menunggu bus sekolah menjemputnya di terminal. Ya, RollingWood menyediakan bus sekolah bagi seluruh siswanya. Tetapi bukan berarti mereka dengan santai berada di teras rumah dan menunggu bus-nya datang. Mereka tetap harus ke terminal terdekat untuk menaiki bus ini. Karena tidak mungkin bus-bus ini berkeliling ke setiap sudut kota hanya untuk menjemput ratusan siswanya yang notabennya banyak di antara mereka berasal dari luar kota.
“Vey, cepat turun dari mobil sayang” kata Mrs. Swift dari bangku depan mobil Avanza keluaran tahun 2000 ini. “Jangan sampai ada barang yang tertinggal. Dan… ingat selalu pesan mama dan papa!” lanjutnya.
“Siap nyonya.” Layaknya memberi hormat, Venus mengangkat tangan kanannya dan diletakkan di depan dahi putihnya.
“Cium mama dulu.” Seketika itu Venus menyambar pipi mamanya dan tidak lupa, dia memberi hormat kepada papa tirinya.
Lalu dia melenggang pergi menuju bus sekolah yang sudah menunggu. Bus sekolah berwarna Yellow ini sangat mencolok di bandingkan bus-bus yang ada di sekelilingnya. Di tambah lagi tulisan The RollingWood yang terpampang di sisi kiri dan kanan-nya membuat siapa-pun bangga untuk menaiki bus ini. Ya, siapa yang bermimpi seorang seperti Venus Anna Swift bisa bersekolah di RollingWood yang terkenal dan megah itu, koreksi­ —klasik itu— yang notabennya adalah orang yang biasa-biasa saja. Sangat biasa. Mobil yang dibawa oleh papanya tadi adalah mobil dinas milik kantornya. Di tambah lagi, seragam yang kini ia kenakan rok remple pendek berwarna hitam, blus putih panjang yang di lengkapi dengan jas almamater bertuliskan The RollingWood di dada bagian kiri. Sungguh membuatnya semakin bangga.
Setelah sampai di dalam bus, dia melambaikan tangan kepada kedua orang tuanya sebagai tanda selamat jalan. Dilihatnya mobil itu telah berputar dan bergegas pergi. Kemudian Venus mengalihkan pandangannya, melihat keseluruhan bus, ternyata belum banyak siswa yang mengisi bus ini. Dia melirik jam yang menunjukan pukul tujuh. Memang masih terlalu pagi. Gumamnya. Renacananya bus ini akan berangkat pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Masih ada tiga puluh menit untuk berjalan-jalan. Venus turun dari bus untuk berjalan-jalan dan mencari cemilan yang mungkin akan dia butuhkan saat perjalanan.
Tapi tiba-tiba. Brug.
Venus menabrak sesuatu, dia terlempar ke belakang. “Aduh…” Dia mengaduh kesakitan sambil memegangi pantatnya yang terbentur lantai.
“Kau punya mata nona…” kata seorang pemuda dengan nada sarkatis. Pemuda itu sama sekali tidak membantu Venus untuk berdiri. Pemuda itu hanya berdiri dan memandang Venus dengan tatapan sinisme. Kemudian dia memungut barangnya yang terjatuh di dalam air selokan. Dia mengumpat.
“Maaf…. Aku tidak sengaja” kata Venus mencoba berdiri dan membersihkan kotoran di roknya dengan cara dikibas-kibaskan.
Dilihatnya pemuda itu hanya diam. Tampan. Batinnya. Dia mengenakan seragam RollingWood. Ya. Jelas sekali dengan jas almamater hitam bertuliskan The RollingWood di dadanya. Sepertinya aku belum pernah melihatnya.Venus menunggu pemuda itu bicara. Venus telah memasang senyum manisnya. Berharap pemuda itu luluh melihatnya dan memaafkannya. Well, sebenarnya tabrakan kali ini bukan salah Venus sepenuhnya.
“Huum..”Venus berdeham.
“Kau tahu, seberapa berharganya barang ini Huh! Brengsek! Sekarang kau membuatnya rusak” ujarnya geram sambil menunjukan sebuah ponsel yang terkena air itu.
Venus mengerutkan keningnya. Brengsek? Siapa yang kau bilang brengsek? Aku sudah minta maaf. Inikah balasannya. Sopan sekali dia. “Apa…??” kata Venus dengan nada yang sedikit tinggi. “Aku sudah minta maaf TUAN. Apa kau tuli?”
“Kata-kata maafmu tidak-akan-pernah-bisa mengembalikan ponselku yang rusak nona” kata pemuda itu dengan nada yang tidak kalah tingginya.
“Oh, itu masalahmu… aku tidak peduli, yang penting aku sudah minta maaf. Permisi ” kata Venus sambil meninggalkan pemuda itu. Dia kesal dengan tingkah pemuda tadi. Sungguh kekanak-kanakan. Batinnya. Venus mengutuk dalam hati… Hatinya tak setampan wajahnya. Sempurna sekali dia.
***

Mohon coment.nya ya :) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar